2020-12-26

Teknik Konservasi Tanah dan Air di Perkebunan Kelapa Sawit

 


Teknik konservasi pada wilayah dengan tren kenaikan curah hujan

a. Antisipasi banjir/genangan

Permasalahan banjir/genangan umumnya terjadi pada lahan gambut maupun pasang surut (pasut). Kejadian banjir/genangan kemungkinan akan semakin sering terjadi akibat tren kenaikan curah hujan dan fenomena La Nina, sesuai dengan penjelasan Las et al. (2011) tentang peningkatan kerawanan banjir pada tanaman padi hingga 2,99% akibat fenomena La Nina.

Secara umum, teknik konservasi untuk mengantisipasi banjir pada jenis lahan ini adalah parit drainase yang berfungsi menurunkan muka air dan mempertahankannya pada kisaran 40-60 cm; serta mempertahankan air tetap di atas lapisan pirit (untuk lahan pasut). Pada awal pembangunan kebun, kapasitas parit drainase harus didesain sesuai curah hujan tertinggi dan riwayat banjir di areal tersebut. Sementara pada kebun yang sudah mempunyai parit drainase dan infrastruktur pendukung (misalnya stoplog, tanggul, pintu air), perlu dilakukan perawatan secara rutin antara lain pembersihan gulma dan lumpur (Rahutomo et al., 2008).

b. Mengurangi laju erosi

Teknik konservasi untuk mengurangi laju erosi pada kemiringan lahan 0- 15% dapat dilakukan melalui aplikasi pelepah kelapa sawit. Pada wilayah dengan kemiringan lahan 16-25% umumnya dibuat tapak kuda, rorak, guludan, serta 4 aplikasi pelepah. Sementara pada areal dengan kemiringan 26-40% dapat dibuat teras kontur, rorak, maupun guludan (Winarna et al., 2005).

Sejalan dengan hal tersebut di atas, Murtilaksono et al. (2011) menyatakan bahwa teras gulud atau guludan dan rorak yang dilengkapi dengan mulsa vertikal (biopori) mampu menekan jumlah tanah yang hanyut dalam aliran air secara signifikan. Teknik tersebut dapat menurunkan aliran permukaan berturut-turut sebesar 79-99% dan 71-74%; serta menurunkan kehilangan sedimen sebesar 77- 99% dan 59-99% dibandingkan tanpa guludan dan rorak.

Cara lain yang dapat dilakukan adalah teknik konservasi biologi melalui manajemen gulma dan penanaman tanaman penutup tanah. Manajemen pengendalian gulma yang terdapat di lahan dilakukan secara selektif dan efisien, sehingga tidak semua gulma diberantas, melainkan ada yang diberantas menyeluruh (terutama anakan kayu dan tukulan), cukup dikendalikan (rumput lunak dan pakisan), atau bahkan dipelihara untuk mengurangi erosi. Di lain pihak, tanaman penutup tanah legume cover crop (LCC) perlu ditanam, khususnya pada masa TBM (Tanaman Belum Menghasilkan). LCC ditanam untuk menekan pertumbuhan gulma, mengurangi pencucian hara, serta memperbaiki sifat kimia tanah dengan mengikat N melalui bintil akarnya (Darlan et al., 2011). Selain itu, tambahan biomassa yang dihasilkan LCC adalah sebesar 5.370 kg/ha dengan sumbangan hara mencapai 113,3 kg N; 11,28 kg P; 105,8 kg K; 27,92 kg Ca; dan 9,13 kg Mg (Haron et al., 2000). Sumbangan hara tersebut akan dapat menggantikan hara yang tercuci akibat run off.

c. Mengurangi eutrofikasi

Eutrofikasi terjadi salah satunya akibat pencemaran unsur hara (umumnya P dan N) dari limbah pertanian ke dalam badan air yang dapat menurukan kualitas air. Pengolahan lahan yang kurang baik dapat menyebabkan kehilangan hara akibat erosi (Joly, 1993). Oleh karena itu, antisipasi eutrofikasi pada dasarnya terintregasi dengan teknik antisipasi erosi.

Teknik konservasi pada wilayah dengan tren penurunan curah hujan

Masalah utama wilayah dengan tren penurunan curah hujan adalah kekeringan yang dapat menyebabkan defisit air. Oleh karena itu, teknik konservasi yang dilakukan lebih ditujukan untuk mengurangi penguapan, menjaga kelembaban tanah dan meningkatkan cadangan air di dalam tanah. Beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Teknik konservasi mekanik

Teknik mekanik yang secara signifikan dapat meningkatkan kelembaban tanah adalah rorak dan guludan dengan mulsa vertikal. Teknik alternatif lainnya adalah aplikasi tandan kosong sebagai mulsa. Murtilaksono et al. (2011) menyatakan bahwa perlakuan rorak dan guludan bermulsa vertikal (biopori) dapat meningkatkan cadangan air dalam tanah sebesar 134 – 141 mm dan 165 – 201 mm. Cadangan air yang bertahan lebih lama di dalam tanah pada musim kering yang berkepanjangan, akan memenuhi kebutuhan air tanaman, sehingga produktivitasnya dapat dipertahankan dan tanaman tidak mengalami stress kekeringan.

Pada cekaman kekeringan tahun 2006 di Lampung, teknik konservasi guludan bermulsa vertikal meningkatkan produktivitas kelapa sawit 2,8-4,4 ton TBS/ha/tahun dibandingkan kontrol (tanpa teknik konservasi). Sedangkan teknik konservasi rorak bermulsa vertikal meningkatkan produktivitas 0,7-2,8 ton TBS/ha/tahun (Murtilaksono et.al., 2009). Teknik alternatif yang lainnya adalah aplikasi tandan kosong (Winarna et al., 2005). Aplikasi mulsa tandan kosong (tankos) sebagai bahan organik selain untuk memperbaiki sifat tanah, juga dapat meningkatkan daya kapasitas menyimpan air (Freidrich, 2011).

b. Teknik konservasi biologi

Teknik konservasi biologi untuk mengantisipasi kekeringan tidak berbeda jauh dengan teknik konservasi biologi untuk mengantisipasi erosi dan eutrofikasi. Teknik yang dapat diaplikasikan adalah manajemen gulma, penanaman LCC, serta tumpang sari. Menurut Lubis (2008), jenis gulma yang tidak perlu diberantas total (babat layang 30 cm dari tanah) dan dapat digunakan untuk menjaga kelembaban tanah antara lain rumput lunak, Cyclosorus aridus (pakis kadal), dan Nephrolepsis biserata (paku harupat).

Untuk tanaman yang berumur kurang dari 4 tahun (TBM), aplikasi LCC selain dapat mencegah erosi, dapat juga digunakan untuk menjaga kelembaban tanah dan mengurangi penguapan. Menurut Darlan et al. (2011), penanaman LCC dapat dilakukan secara monokultur maupun campuran antara C. mucunoides, P. phaseoloides, dan C. pubescens. Namun yang sering dipakai akhir-akhir ini adalah Mucuna bracteata. Selain mampu menjaga kelembaban tanah, kandungan hara dan biomassa yang dihasilkan oleh jenis kacangan ini cukup tinggi dan akan diserap oleh tanaman kelapa sawit sehingga dapat meningkatkan produksi hingga 19% lebih tinggi dibandingkan areal yang menggunakan LCC campuran (Sebayang et al., 2004).

Selain penanaman LCC, teknik konservasi biologi lainnya adalah teknik tumpang sari dengan jagung atau kedelai. Harahap et al. (2008) menyatakan bahwa tumpang sari antara tanaman TBM dan kedelai varietas Anjasmoro tidak mengganggu keragaan tanaman TBM, bahkan menghasilkan panen kedelai sebesar 2.035 ton/ha. Selain lahan akan tertutupi oleh tanaman, petani juga akan memperoleh bahan pangan dan pendapatan tambahan selama tanaman kelapa sawit belum diambil produksinya.

 

sumber

https://www.researchgate.net/publication/332971386_Teknik_Konservasi_Tanah_dan_Air_di_Perkebunan_Kelapa_Sawit_dalam_Menghadapi_Perubahan_Iklim/link/5cd44eb9299bf14d95849de2/download

Lokasi: Wonosari, Parenggean, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar