Teknik konservasi pada wilayah dengan tren kenaikan curah hujan
a. Antisipasi banjir/genangan
Permasalahan banjir/genangan
umumnya terjadi pada lahan gambut maupun pasang surut (pasut). Kejadian
banjir/genangan kemungkinan akan semakin sering terjadi akibat tren kenaikan
curah hujan dan fenomena La Nina, sesuai dengan penjelasan Las et al. (2011)
tentang peningkatan kerawanan banjir pada tanaman padi hingga 2,99% akibat
fenomena La Nina.
Secara umum, teknik konservasi
untuk mengantisipasi banjir pada jenis lahan ini adalah parit drainase yang
berfungsi menurunkan muka air dan mempertahankannya pada kisaran 40-60 cm;
serta mempertahankan air tetap di atas lapisan pirit (untuk lahan pasut). Pada
awal pembangunan kebun, kapasitas parit drainase harus didesain sesuai curah
hujan tertinggi dan riwayat banjir di areal tersebut. Sementara pada kebun yang
sudah mempunyai parit drainase dan infrastruktur pendukung (misalnya stoplog,
tanggul, pintu air), perlu dilakukan perawatan secara rutin antara lain
pembersihan gulma dan lumpur (Rahutomo et al., 2008).
b. Mengurangi laju erosi
Teknik konservasi untuk
mengurangi laju erosi pada kemiringan lahan 0- 15% dapat dilakukan melalui
aplikasi pelepah kelapa sawit. Pada wilayah dengan kemiringan lahan 16-25%
umumnya dibuat tapak kuda, rorak, guludan, serta 4 aplikasi pelepah. Sementara
pada areal dengan kemiringan 26-40% dapat dibuat teras kontur, rorak, maupun
guludan (Winarna et al., 2005).
Sejalan dengan hal tersebut di
atas, Murtilaksono et al. (2011) menyatakan bahwa teras gulud atau guludan dan
rorak yang dilengkapi dengan mulsa vertikal (biopori) mampu menekan jumlah
tanah yang hanyut dalam aliran air secara signifikan. Teknik tersebut dapat
menurunkan aliran permukaan berturut-turut sebesar 79-99% dan 71-74%; serta
menurunkan kehilangan sedimen sebesar 77- 99% dan 59-99% dibandingkan tanpa
guludan dan rorak.
Cara lain yang dapat dilakukan
adalah teknik konservasi biologi melalui manajemen gulma dan penanaman tanaman
penutup tanah. Manajemen pengendalian gulma yang terdapat di lahan dilakukan
secara selektif dan efisien, sehingga tidak semua gulma diberantas, melainkan
ada yang diberantas menyeluruh (terutama anakan kayu dan tukulan), cukup
dikendalikan (rumput lunak dan pakisan), atau bahkan dipelihara untuk
mengurangi erosi. Di lain pihak, tanaman penutup tanah legume cover crop (LCC)
perlu ditanam, khususnya pada masa TBM (Tanaman Belum Menghasilkan). LCC
ditanam untuk menekan pertumbuhan gulma, mengurangi pencucian hara, serta memperbaiki
sifat kimia tanah dengan mengikat N melalui bintil akarnya (Darlan et al.,
2011). Selain itu, tambahan biomassa yang dihasilkan LCC adalah sebesar 5.370
kg/ha dengan sumbangan hara mencapai 113,3 kg N; 11,28 kg P; 105,8 kg K; 27,92
kg Ca; dan 9,13 kg Mg (Haron et al., 2000). Sumbangan hara tersebut akan dapat
menggantikan hara yang tercuci akibat run off.
c. Mengurangi eutrofikasi
Eutrofikasi terjadi salah
satunya akibat pencemaran unsur hara (umumnya P dan N) dari limbah pertanian ke
dalam badan air yang dapat menurukan kualitas air. Pengolahan lahan yang kurang
baik dapat menyebabkan kehilangan hara akibat erosi (Joly, 1993). Oleh karena
itu, antisipasi eutrofikasi pada dasarnya terintregasi dengan teknik antisipasi
erosi.
Teknik
konservasi pada wilayah dengan tren penurunan curah hujan
Masalah utama wilayah dengan
tren penurunan curah hujan adalah kekeringan yang dapat menyebabkan defisit
air. Oleh karena itu, teknik konservasi yang dilakukan lebih ditujukan untuk
mengurangi penguapan, menjaga kelembaban tanah dan meningkatkan cadangan air di
dalam tanah. Beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Teknik konservasi mekanik
Teknik mekanik yang secara
signifikan dapat meningkatkan kelembaban tanah adalah rorak dan guludan dengan
mulsa vertikal. Teknik alternatif lainnya adalah aplikasi tandan kosong sebagai
mulsa. Murtilaksono et al. (2011) menyatakan bahwa perlakuan rorak dan guludan
bermulsa vertikal (biopori) dapat meningkatkan cadangan air dalam tanah sebesar
134 – 141 mm dan 165 – 201 mm. Cadangan air yang bertahan lebih lama di dalam
tanah pada musim kering yang berkepanjangan, akan memenuhi kebutuhan air
tanaman, sehingga produktivitasnya dapat dipertahankan dan tanaman tidak
mengalami stress kekeringan.
Pada cekaman kekeringan tahun
2006 di Lampung, teknik konservasi guludan bermulsa vertikal meningkatkan
produktivitas kelapa sawit 2,8-4,4 ton TBS/ha/tahun dibandingkan kontrol (tanpa
teknik konservasi). Sedangkan teknik konservasi rorak bermulsa vertikal
meningkatkan produktivitas 0,7-2,8 ton TBS/ha/tahun (Murtilaksono et.al.,
2009). Teknik alternatif yang lainnya adalah aplikasi tandan kosong (Winarna et
al., 2005). Aplikasi mulsa tandan kosong (tankos) sebagai bahan organik selain
untuk memperbaiki sifat tanah, juga dapat meningkatkan daya kapasitas menyimpan
air (Freidrich, 2011).
b. Teknik konservasi biologi
Teknik konservasi biologi
untuk mengantisipasi kekeringan tidak berbeda jauh dengan teknik konservasi
biologi untuk mengantisipasi erosi dan eutrofikasi. Teknik yang dapat
diaplikasikan adalah manajemen gulma, penanaman LCC, serta tumpang sari.
Menurut Lubis (2008), jenis gulma yang tidak perlu diberantas total (babat
layang 30 cm dari tanah) dan dapat digunakan untuk menjaga kelembaban tanah
antara lain rumput lunak, Cyclosorus aridus (pakis kadal), dan Nephrolepsis
biserata (paku harupat).
Untuk tanaman yang berumur
kurang dari 4 tahun (TBM), aplikasi LCC selain dapat mencegah erosi, dapat juga
digunakan untuk menjaga kelembaban tanah dan mengurangi penguapan. Menurut
Darlan et al. (2011), penanaman LCC dapat dilakukan secara monokultur maupun
campuran antara C. mucunoides, P. phaseoloides, dan C. pubescens. Namun yang
sering dipakai akhir-akhir ini adalah Mucuna bracteata. Selain mampu menjaga
kelembaban tanah, kandungan hara dan biomassa yang dihasilkan oleh jenis
kacangan ini cukup tinggi dan akan diserap oleh tanaman kelapa sawit sehingga
dapat meningkatkan produksi hingga 19% lebih tinggi dibandingkan areal yang
menggunakan LCC campuran (Sebayang et al., 2004).
Selain penanaman LCC, teknik
konservasi biologi lainnya adalah teknik tumpang sari dengan jagung atau
kedelai. Harahap et al. (2008) menyatakan bahwa tumpang sari antara tanaman TBM
dan kedelai varietas Anjasmoro tidak mengganggu keragaan tanaman TBM, bahkan
menghasilkan panen kedelai sebesar 2.035 ton/ha. Selain lahan akan tertutupi
oleh tanaman, petani juga akan memperoleh bahan pangan dan pendapatan tambahan
selama tanaman kelapa sawit belum diambil produksinya.
sumber
https://www.researchgate.net/publication/332971386_Teknik_Konservasi_Tanah_dan_Air_di_Perkebunan_Kelapa_Sawit_dalam_Menghadapi_Perubahan_Iklim/link/5cd44eb9299bf14d95849de2/download
0 komentar:
Posting Komentar