2024-08-27

Refleksi Dwi Mingguan Modul 3.2

 


Refleksi Dwi Mingguan Modul 3.2

 

Pada minggu ini (jurnal refleksi dwi mingguan), saya mengikuti kegiatan calon guru penggerak yang membahas modul 3.2 dengan topik “Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya". Saya merasa bahwa banyak hal baik yang saya alami dalam proses tersebut. Saya juga dapat berdiskusi dengan rekan-rekan sejawat dan bertukar pengalaman dalam menerapkan nilai dan peran guru penggerak.

Dalam menulis jurnal refleksi ini saya menggunakan model 1 yaitu model 4F (Fact, Feeling, Findings, dan Future, yang diprakarsai oleh Dr. Roger Greenaway. 4F dapat diterjemahkan menjadi 4P yakni : Peristiwa; Perasaan; Pembelajaran; dan Penerapan.

 

  1. Fact (Peristiwa)

Saya baru saja mempelajari modul 3.2 yang membahas tentang peran pemimpin dalam pengelolaan sumber daya di lingkungan sekolah melalui platform LMS dengan metode M-E-R-D-E-K-A, yang mencakup langkah-langkah seperti "Mulai dari Diri", "Eksplorasi Konsep", "Ruang Kolaborasi", dan seterusnya.

 

Pada langkah pertama, "Mulai dari Diri", saya diminta untuk menjawab serangkaian pertanyaan yang bertujuan mengaktifkan kembali pengetahuan awal saya mengenai ekosistem sekolah dan bagaimana pemimpin berperan dalam pengelolaan sumber daya di sekolah. Setelah itu, saya melanjutkan ke "Eksplorasi Konsep", di mana saya mempelajari secara mandiri tentang konsep-konsep penting yang disediakan di forum LMS. Materi yang dipelajari mencakup pemahaman tentang sekolah sebagai ekosistem, pendekatan berbasis masalah (Deficit-Based Approach) dan berbasis aset (Asset-Based Approach), pendekatan ABCD (Asset Based Community Development), serta karakteristik komunitas yang sehat.

 

Saya juga diberikan dua studi kasus terkait diskusi rapat guru mengenai kenaikan kelas murid, yang kemudian dianalisis untuk memahami dinamika rapat tersebut. Dalam sesi "Eksplorasi Konsep – Pertanyaan Pemantik", saya ditugaskan untuk merefleksikan kembali jawaban sebelumnya dan mendalami konsep Pengembangan Komunitas Berbasis Aset. Selain itu, ada juga kegiatan diskusi di forum asinkron yang mengharuskan kami menghubungkan materi yang dipelajari dengan studi kasus yang telah diberikan.

 

Dengan langkah-langkah ini, saya dapat lebih memahami bagaimana pemimpin sekolah dapat mengelola sumber daya dengan pendekatan yang lebih efektif dan berbasis kekuatan komunitas. Langkah berikutnya adalah alur ketiga, yaitu "Ruang Kolaborasi," yang terbagi dalam dua sesi. Sesi pertama melibatkan diskusi kelompok yang dipandu oleh fasilitator, sedangkan sesi kedua adalah presentasi hasil diskusi kelompok. Kedua sesi tersebut dilaksanakan melalui Google Meet. Dalam diskusi kelompok, kami membahas tentang kekuatan atau aset sumber daya yang ada di sekolah masing-masing dan di daerah kami. Setelah itu, sesi kedua diisi dengan presentasi dari masing-masing kelompok mengenai hasil diskusi yang telah dilakukan.

 

2.       Perasaan (Feeling)

Sebelum mempelajari modul 3.2, pandangan saya lebih terfokus pada kekurangan dan masalah yang ada di sekolah. Saya berpikir bahwa aset di sekolah hanya terbatas pada fasilitas fisik seperti sarana dan prasarana. Namun, setelah mendalami modul 3.2 tentang kepemimpinan dalam pengelolaan sumber daya, pandangan saya berubah. Saya belajar bahwa penting bagi kita untuk mengadopsi pola pikir berbasis aset atau kekuatan. Dengan cara pandang ini, saya dapat lebih mengoptimalkan potensi dan kekuatan yang ada di sekolah untuk menjalankan program-program yang ada.

 

Pemikiran berbasis aset/kekuatan ini sangat krusial bagi seorang pemimpin, karena pemimpin harus mampu memanfaatkan setiap potensi dalam ekosistem sekolah. Dengan memaksimalkan potensi yang ada, kita dapat mendorong seluruh komunitas sekolah untuk berpikir positif dalam upaya pengembangan sekolah.

 

Setelah mempelajari modul ini, saya merasa sangat senang, bersemangat, dan optimis. Saya jadi lebih menyadari bahwa sekolah memiliki banyak potensi yang belum sepenuhnya digali dan dimanfaatkan. Saya juga merasa puas karena dapat berbagi praktik baik tentang cara memetakan potensi yang ada di sekolah. Dengan pemetaan tersebut, kita bisa merancang program-program yang memberikan dampak positif bagi murid. Hasil pemetaan dan pemanfaatan aset ini membuat kami semakin optimis untuk menggunakan potensi yang ada demi pengembangan sekolah yang berfokus pada kesejahteraan murid. Saya juga merasa bangga karena bisa mendorong rekan-rekan sejawat untuk mengadopsi pola pikir berbasis kekuatan, yang membantu kita semua lebih menyadari dan memanfaatkan potensi yang ada dalam berbagai program sekolah.

 

  1. Pembelajaran (Findings)

Pembelajaran yang saya dapatkan dari modul ini mengajarkan kami untuk merefleksikan bahwa sekolah adalah sebuah ekosistem yang terdiri dari elemen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi guna menciptakan hubungan yang seimbang dan harmonis. Elemen biotik mencakup murid, kepala sekolah, guru, staf, pengawas, orang tua, masyarakat sekitar, dinas terkait, dan pemerintah daerah, yang semuanya saling mempengaruhi dan memerlukan keterlibatan aktif satu sama lain. Sementara itu, elemen abiotik seperti keuangan, sarana prasarana, dan lingkungan alam juga memainkan peran penting dalam mendukung kesuksesan proses pembelajaran di sekolah. Dengan memahami ekosistem sekolah ini, kita dapat meningkatkan koordinasi dan kolaborasi di antara semua pihak yang terlibat untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan.

 

Dalam pengelolaan sumber daya sekolah, terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan:

  • Pendekatan berbasis kekurangan (deficit-based approach): Pendekatan ini berfokus pada masalah dan kekurangan yang ada di sekolah.
  • Pendekatan berbasis aset (asset-based approach): Pendekatan ini mengutamakan kekuatan dan potensi yang ada di sekolah.

 

Pendekatan berbasis aset cenderung memberikan dampak positif dalam pengembangan diri dan pencarian peluang, berbeda dengan pendekatan berbasis kekurangan yang sering kali memunculkan pikiran negatif. Oleh karena itu, lebih baik kita mengadopsi pendekatan berbasis aset dalam melihat sumber daya sekolah agar dapat mengoptimalkan kekuatan dan potensi yang ada untuk mencapai keberhasilan.

 

Selain itu, pengelolaan sumber daya sekolah juga dapat menggunakan pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA) atau Asset-Based Community Development (ABCD), yang dikembangkan oleh John McKnight dan Jody Kretzmann. Pendekatan ini berfokus pada pemberdayaan komunitas dengan memanfaatkan aset dan sumber daya yang mereka miliki. Berbeda dengan pendekatan tradisional yang lebih menekankan pada masalah, kebutuhan, dan kekurangan, PKBA lebih menitikberatkan pada kapasitas, kemampuan, pengetahuan, jaringan, dan potensi yang ada dalam komunitas. Dengan begitu, PKBA mendorong terciptanya kehidupan komunitas yang lebih berkelanjutan dan mandiri.

 

Di dalam konteks sekolah, pendekatan PKBA bisa diterapkan dengan mengoptimalkan potensi dan sumber daya seluruh warga sekolah sehingga proses pendidikan bisa berlangsung lebih efisien dan efektif. Sekolah dapat dianggap sebagai sebuah komunitas yang dapat belajar untuk menjadi lebih sehat dan tangguh. Menurut Bank of I.D.E.A.S (2014), komunitas yang sehat dan resilien memiliki karakteristik sebagai berikut:

  • Mempraktikkan dialog berkelanjutan dan partisipasi aktif dari seluruh anggota.
  • Menumbuhkan komitmen terhadap lingkungan.
  • Membangun koneksi dan kolaborasi.
  • Mengenali potensi diri dan mengembangkan aset yang dimiliki.
  • Menyusun masa depan dengan baik.
  • Bertindak berdasarkan ide dan peluang.
  • Menerima perubahan dengan tanggung jawab.
  • Membangun kepemimpinan yang efektif.

 

Komunitas sekolah dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya dengan pendekatan pengembangan komunitas berbasis aset, mirip dengan bagaimana komunitas lain memanfaatkan sumber daya mereka. Proses ini melibatkan pemetaan tujuh jenis aset utama yang mencakup modal manusia, sosial, politik, agama dan budaya, fisik, lingkungan/alam, serta finansial. Ketujuh aset ini dapat berinteraksi dan saling melengkapi satu sama lain.

1.       Modal manusia: Dapat dikenali melalui pemetaan individu berdasarkan pengetahuan, kecerdasan, dan keterampilan yang mereka miliki.

2.       Modal sosial: Berupa norma, aturan, kepercayaan, dan jaringan yang ada di antara anggota komunitas.

3.       Modal politik: Terkait dengan kemampuan kelompok dalam mempengaruhi alokasi sumber daya di dalam unit sosial dan memanfaatkan sumber daya manusia untuk memengaruhi kebijakan.

4.       Modal agama dan budaya: Agama membantu mengatur perilaku individu dalam komunitas, sementara kebudayaan mencerminkan karya manusia yang terbentuk dari ide, norma, perilaku, dan benda.

5.       Modal fisik: Terdiri dari bangunan dan infrastruktur yang ada di komunitas.

6.       Modal lingkungan/alam: Meliputi potensi alam yang belum dikelola tetapi memiliki nilai ekonomi tinggi.

7.       Modal finansial: Merupakan dukungan keuangan yang dimiliki komunitas dan digunakan untuk mendanai pembangunan serta kegiatan.

Dengan memanfaatkan ketujuh modal utama tersebut, sekolah dapat menghasilkan kebijakan yang fokus pada peningkatan kualitas pembelajaran. Kesimpulan dari modul ini adalah bahwa seorang pemimpin pendidikan harus mampu mengenali, mengidentifikasi, menganalisis, dan memetakan potensi sumber daya di sekolah menggunakan pendekatan berbasis aset. Pendekatan ini menekankan pentingnya mengoptimalkan dan memberdayakan aset-aset yang ada untuk menciptakan perubahan yang berfokus pada kesejahteraan murid, sesuai dengan filosofi Ki Hajar Dewantara yang mengutamakan pembelajaran yang berpihak pada murid.

Sebagai pemimpin pendidikan dalam pengelolaan sumber daya, kita juga harus menggali kekuatan yang dimiliki oleh komunitas di dalam ekosistem sekolah, baik dari komponen abiotik maupun biotik. Setiap elemen dalam ekosistem ini harus dilihat sebagai aset yang berharga dalam proses pengembangan. Mengelola tujuh aset utama—modal manusia, sosial, politik, agama dan budaya, fisik, lingkungan/alam, dan finansial—adalah langkah penting untuk mewujudkan perubahan pembelajaran yang berpihak pada murid. Oleh karena itu, penting bagi pemimpin pendidikan untuk menerapkan pendekatan berbasis aset ini di kelas, sekolah, dan komunitas sekitar.

 

Lokasi: Sampit, Mentawa Baru Hulu, Kec. Mentawa Baru Ketapang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar